Posts Tagged ‘Emosi’

Tickled Pink

Posted: June 11, 2011 in Resonansi Hati
Tags: , ,

Aku kesal, sudah lebih dari dua bulan aku tinggal di Brebes, tapi belum kukuasai betul bahasa mBrebes-an campur Sunda Cirebon-an ini. Aku tambah kesal lagi pada diriku kalau pasien yang harus kuanamnesis tak bisa berbahasa Indonesia, pun kurang kooperatif untuk diajak biacara. Argh…..rasanya ingin kuteriak saja, kuhentikan anamnesis, tanya jawab itu dan kutulis sedapatnya, tapi aku tak bisa begitu dan tak boleh begitu. 80% diagnosis bisa kudapatkan dari anamnesis. Harusnya aku bersyukur, aku lebih beruntung, dari dokter hewan yang tak mungkin berbicara dengan pasiennya. Aku yang masih bisa berbicara dengan pasienku, tak boleh menyerah hanya karena masalah bahasa.

AngerSharon Dominick Photography 2007

K.E.S.A.L, aku pikir hal itu wajar saja, aku kan juga manusia, bisa lelah, penat dan kesal karena hal-hal kecil yang mengganggu dan terus berulang. Continous sensitisation, sensitisasi yang kecil namun tiap hari bisa jadi membesar dan klimaks pada suatu hari. And BOOMBit can explode whenever, or wherever. Aku ingat aku beberapa kali pernah kesal ketika menjadi tenaga medis di pengungsian Merapi, di suatu stadion berkapasitas puluhan ribu orang pengungsi. Kondisi lelah, jaga tak tergantikan, pemicu-pemicu kecil yang terus-terusan membuatku yang mempunyai high anger treshold, atau ambang marah tinggi, alias tak mudah marah ini, bisa juga kesal kepada pengungsi yang notabene-nya adalah orang yang sedang mengalami musibah. Bagaimana tidak kesal dan mengeluarkan kata-kata walaupun halus tapi dengan desibel  tinggi, ketika banyak pengungsi yang tidak sakit emergency, tapi datang berobat di malam hari, jam11 malam nona, jam 11 malam, dengan keluhan Tinea versicolor , atau sekedar mas-mas yang bilang “mbak, saya pengen ditensi”. Dan ketika mereka disuruh antri dengan suara berdesibel  tinggi alias lebih keras daripada suara anamnesisku“antri ya, yang sabar!Ini juga sedang periksa yang lain” maka ada yang mungkin terluka hatinya dan pergi. Huff….Aku juga kadang kesal dengan para “shopper”, pasien yang mencoba berobat di sekian pos kesehatan gratis, atas penyakit yang sama, dalam waktu yang hampir sama, dan menimbun obat-obat yang sama. Dan kutahu, ketika aku ke barak tidurnya, kutemukan beberapa obat yang sama, dengan merk berbeda, tapi tak semua selesai diminumnya. Sepertinya semua orang ingin sembuh cepat. Cling, abrakadabara, 1 kali telan pil atau kapsul maka sembuhlah semua penyakit di badannya, tanpa harus taat pada tulisan di resep obatnya. Hem, pemikiran instansyang harus banyak dirubah dari masyarakat Indonesia, bukan berarti kalau gratis, lantas bisa menjadi drug shopper dimana-mana, bukan berarti juga penyakit itu bisa sembuh secara cepat fantastis secepat mobil-mobil di film Fast and Furious dengan booster Nitrous Oxide  System.

Kadang aku menyesal, sampai tak sengaja melukai hati pengungsi itu, tapi aku pun lelah, aku sering berjaga non stop di pengungsian, menjadi koordinator sekaligus medis yang turun langsung ke pasien. Bahkan aku pernah jaga beberapa shift, tak sempat mandi tak sempat pulang, hingga kulakukan sholat Idul Adha terpisah dari keluarga, di pengungsian, dengan baju seadanya, yang menempel di badan, tanpa mandi, tanpa minyak wangi. Hem, untung aku tak dekat-dekat dengan kambing yang akan dipotong untuk kurban.Seperti kata Leo Tolstoy, Tuhan tahu tapi menunggu. Kuingat-ingat dalam hidupku, aku merasa ALLOH sering menegurku secara langsung atas perbuatanku. Aku pun mendapatkan ganjarang setelah tak lama kukeluarkan suara berdesibel tinggi itu, aku langsung jatuh dalam rhinofaringitis akut yang membuat suara-ku serak-serak basah, bahkan hampir tak bersuara. Hem, alhasil niat untuk belajar UKDI yang tinggal menghitung hari kalau itu tak terlaksana, yang artinya aku akan UKDI dengan persiapan tak pasti. Rabb, itu memang pelajaran sangat berharga, tak boleh ada kesombongan di hati, tak boleh aniaya kepada diri sendiri, dan dzholim kepada orang lain. Aku akan selalu mengingat itu, insyaALLOH…selalu…

 Sistem limbik  dalam otakku tentunya tak cuma tahu tentang kesal dan emosi negatif lainnya, pusat emosi ini juga turut mempersepsikan perasaan hati yang lain. Lega, perasaan seperti seorang yang sedang meteorismus  dengan perut kembung, yang orang bilang mungkin masuk angin atau  aerophagia nama lainnya, maka flatus  alias kentut dan sendawa adalah suatu kenikmatan tak terkira. Seperti orang sudah berhari-hari tak ke belakang untuk setoran bukti biologis saluran pencernaannya berjalan, maka defekasi,  atau bahasa anak kecilnya “pub” adalah suatu kelegaan yang dicari. Ketika pasien mulai kejang dan mengalami penurunan kesadaran akibat hipoglikemia, penurunan gula darah yang bisa diakibatkan penggunaan obat anti diabetes, maka rasanya sangat melegakan setelah pasien tersadar dengan bolus D40%. Seperti saat dunia ini dipenuhi asap hasil bebakaran rokok dengan kandungan tar-nya, maka yang namanya lega adalah berhasil mengusir atau mematikan rokok para smoker itu dengan mulus dan menghindarkannya dari muka. L.E.G.A, empat huruf yang menggambarkan suatu perasaan hati luar biasa gembira, dengan endorphin flooded,  dengan banjir neurotransmitter endorpfin di setiap sinaps neuron syaraf otak, dengan suatu tarikan nafas panjang, tanda menghela. Huff…Tickled Pink…lega…

Ada lagi yang namanya P.U.A.S, perasaan yang dirasakan ketika keluarga pasien menjabat tangan dan mengucapkan “terima kasih” atas usaha yang telah dilakukan, perasaan yang dirasakan ketika ada kiriman kue di bangsal dari keluarga penderita, perasaan yang dirasakan ketika berjumpa di jalan, dan pasien masih mengingat diri kita, bahkan ketika masih dokter muda, perasaan ketika pasien bertanya, “kok ndak pernah lagi kelihatan, kemana”. Direct satisfaction, kepuasan langsung, yang membuat pekerjaan , rutinitas teknis yang menjemukan dan melelahkan menjadi sebuah amaliah penuh arti, menjadikan pekerjaan mempunyai jiwa, karena setidaknya aku merasa berguna.

Namun ada kalanya pernah hati ini gelisah dan rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Berteriak dan melepaskan semua penat dan penuhnya isi rongga dada. Pernah hati ini berkecamuk dan ingin meredamnya dalam diam dan berharap semua akan baik-baik saja, All izz well  kalau kata Ranchodas Syamaldas Chancad alias Phungsuk Wangdu, tokoh yang diperankan Amir Khan dalam 3 Idiots.  

 Seperti ketika kuhadapi  “bintang yang pertama”, bukan saat aku sebagai seorang koasisten yang tidak memegang tanggung jawab profesi, namun sebagai seorang dokter magang yang mempunyai kewenangan dan tangung jawab berbeda. Aku masih merasa terhantam, bahkan hingga hari ini, ketika ku harus menyaksikannya gagal nafas, hingga kupijat jantungnya, kutempelkan stetoskopku di dadanya mendengarkan masih adakah bunyi S1-S2, memegang carotis-nya mencoba mencari denyutan nadi tanda sirkulasi masih ada, hingga harus kusaksikan pupil-nya sudahmidriasis maksimal, tanda harus kututup matanya. Dan pekerjaan terakhir yang menyesakkan dada adalah delivering bad news. Sekalipun semua prosedural sudah benar dan sudah dilakukan, maka rasanya tetap ada palu yang menghantam dadaku dengan kerasnya, hingga aku pun serasa dispneu,  nafas sesak seperti tertindih beban berat. Rasanya waktu menyampaikan berita duka itu, seakan waktu berhenti berputar dan semua orang melihaktu, membuatku mengkerut, mengecil di dalam kerumunan tatapan duka keluarga, dan banjir tangisan yang menghentakkan dada.

Hampir semua kehilangan yang pertama selalu terngiang dan menimbulkan lubang dalam. Bahkan ketika “bintang pertama” yang kuhadapi sebagai seorang dokter muda. Kupikir aku sudah cukup “mengeraskan” dan “mematikan” hati, namun ternyata hantaman yang diterima”sendiri” masih tak tertahankan. Sepertinya aku harus meningkatkan barier-ku lebih tebal, lebih selective permeable, hingga tak semua hal bisa menembus dan meruntuhkan sawar dinding simpati yang terbangun secara alami.

Tuhan, dalam sekian kali coba-ku memasuki Fakultas Kedokteran UGM, akhirnya Kau berikan aku kesempatan menikmati susah dukanya suatu pendidikan kedokteran. Merasakan dari seorang juru tulis status, sampai derita kurir pengantar spesimen dan pengambil hasil lab, dari lelahnya pemegangretraktor operasi, sampai dengan hanya pengobservasi yang hanya berjam-jam berdiri, dari seorang yang memegang dan memberikan nafas bantuan kehidupan hingga jadi pengotopsi dari mereka yang sudah tak bernyawa. Terima kasih, Engkau beri aku kesempatan menjadi seorang perantara dalam kesembuhan, kelahiran bahkan kematian hamba-hamba-Mu ya Rabb. Izinkan aku seperti cerdasnya tokoh House M.D dalam menyusun puzzle diagnosis yang tercentang perentang, seperti lincahnya jari-jemari Ben CarsonJohn Hopkins Hospital  dalam mengoperasi, susunan syaraf pusat. Kuatkan aku ya Rabb. Bersihkan hati-ku, dari niatan-niatan lain yang timbul dari kebusukan hati dan rayuan syetan yang menyesatkan. Berikanlah kami rezeki yang bersih dan barokah. Lindungilah dalam setiap langkah kami. Dan izinkanlah kami mewujudkan mimpi.

Ichigo’s The Writing Series
The Stories of People Lifes